Jumat, 18 November 2011

TRADITIONAL FERMENTED SOYBEAN FOOD : “TEMPE”

TRADITIONAL FERMENTED FOOD : “TEMPE”

      I.            PENDAHULUAN
Makanan tradisional terfermentasi secara garis besar dibagi menjadi 6 kategori, yaitu:
1.      Minuman beralkohol yang difermentasikan dengan khamir
2.      Minuman asam yang difermentasikan dengan Acetobacter
3.      Produk susu yang difermentasikan dengan Lactobacillus
4.      Minuman asam yang difermentasikan dengan Lactobaacillus dalam kondisi bergaram
5.      Ikan dan daging terfermentasi yang ditangani dengan enzim bersama dengan Lactobacillus dalam kondisi bergaram
6.      Protein nabati terfermentasi yang ditangani dengan  kapang, khamir dan atau tanpa Lactobacillus dalam kondisi bergaram
Sejak dahulu, seluruh bangsa di dunia telah mengembangkan cara pemrosesan sederhana untuk memproduksi minuman beralkohol. Pada prinsipnya, minuman ini dibuat dengan mengkonversi gula yang ada pada bahan baku menjadi alkohol dengan memanfaatkan khamir. Kemudian, muncul cuka yang dibuat dengan mengubah alkohol menjadi asam asetat melalui aktivitas Acetobacter. Selain itu, berbagai makanan dan minuman fermentasi yang secara umum dibuat dengan mengkonversi gula menjadi asam laktat oleh Lactobacillus juga telah lama dikembangkan, seperti yoghurt di Balkan, kefir di Kaukasus, dan idli di Afrika.
Cara menghidrolisis protein tertentu dalam makanan menjadi asam-asam amino dan peptida-peptida yang lebih pendek dengan tujuan membuat makanan menjadi lebih menarik dan bernutrisi juga sudah ada dari dulu. Di Asia, cita rasa ikan, unggas, daging dan beberapa sereal ditingkatkan dengan memfermentasikan bahan-bahan tersebut dengan enzim proteolitik dan amilolitik yang diproduksi oleh Aspergillus, Rhizopus atau Mucor, yang kadang-kadang juga disertai dengan Lactobacillus dan khamir, dalam kondisi berkonsentrasi garam tinggi.
Di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, makanan berprotein hasil fementasi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
Jenis I : ikan, unggas dan daging yang didegradasi secara enzimatik dalam kondisi bergaram oleh enzim yang diperoleh dari organ binatang atau dari biji-bijian (seperti beras dan gandum) yang terfermentasi. Minuman beralkohol kadang-kadang ditambahkan ke dalam campuran untuk mencegah pembusukan bahan. Contoh: kecap ikan dan terasi di Indonesia.
Jenis II: kedelai (atau kacang lain yang mengandung protein) yang telah dimasak dicampur dengan air, garam dan biji-bijian yang ditutupi kapang seperti beras koji. Campuran ini kemudian disimpan. Minuman beralkohol juga kadang-kadang ditambahkan untuk memulai proses pencampuran. Contoh : miso di Jepang.
Jenis III: kedelai yang telah dimasak bersama dengan gandum atau barley dalam jumlah kecil, dengan perbandingan 3 : 2 atau 5 : 1, dikultur dengan Aspergillus. Bahan-bahan yang telah dikultur kemudian disimpan dengan ditambah garam dan air agar bahan-bahan mengalami degradasi enzimatik. Contoh: kecap di Indonesia.
Jenis IV: biji gandum yang telah dimasak (dapat pula dicampur dengan sejumlah kecil kedelai yang telah dimasak atau disangrai) dikultur dengan kapang Aspergillus kuning untuk dijadikan koji. Koji ini kemudian dicampur dengan air garam dan biji gandum yang telah dimasak sehingga terbentuk semacam bubur yang siap untuk difermentasikan. Contoh: shiro-soyu di Jepang.
Jenis V: campuran kedelai yang telah dimasak dan biji gandum yang sudah dihancurkan (rasio 1 : 1 atau 2 : 3) dikultur dengan Aspergillus kuning untuk membuat koji. Setelah itu, koji dicampur dengan air garam sebanyak 110-130 % dari volume koji yang digunakan sehingga terbentuk semacam bubur yang kemudian difermentasikan dengan Lactobacillus dan khamir. Produk akhir dipasteurisasi pada temperatur yang relatif tinggi untuk memberikan citarasa yang kuat dan warna merah kecokelatan. Contoh: koikuchi-soyu di Jepang.
Jenis VI: kedelai yang telah dimasak dikultur dengan Aspergillus, Mucor atau Bacillus. Makanan tipe ini merupakan pengembangan dari shi atau rou-shi yang muncul pertama kali di China dua abad sebelum masehi.
Jenis VII: protein nabati seperti konsentrat kedelai dihidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida yang lebih pendek dengan cara merebusnya dengan asam hidroklorat pekat pada suhu di atas 100°C yang kemudian diikuti dengan netralisasi dengan basa. Hasil hidrolis protein yang dilakukan secara kimiawi seperti ini sebenarnya tidak dapat disebut “terfermentasi”, tetapi hal ini hanya digunakan sebagai tambahan untuk produk terfermentasi. Pasa masa sekarang ini, protein yang telah dihidrolisis dengan asam hidroklorat encer pada suhu di bawah 100°C dan telah dinetralkan dengan basa, dicampur dengan shoyu-koji. Shoyu-koji merupakan campuran dari kedelai dan gandum yang dikultur dengan kapang Aspergillus dan difermentasikan dengan Lactobacillus serta khamir. Produksi saus kedelai secara semi-kimiawi atau semi-fermentasi ini ditemukan di Jepang 40 tahun yang lalu dan masih terkenal di beberapa negara Asia sampai sekarang.

Jenis VIII : shoyu-koji yang terbuat dari gandum (atau dapat pula kulit gandum) dan kedelai yang telah dihilangkan lemaknya dicampur dengan larutan garam encer dalam jumlah kecil untuk membuat semacam bubur keras dengan kelembaban 70-100% dan kandungan garam 6-8%. Bubur ini harus dijaga suhunya pada 40-50°C selama 2-3 minggu. Setelah itu, bubur dikeringkan dam diekstrak dengan air garam panas yang dilanjutkan dengan pencucian dengan air panas. Metode ini ditemukan di China pada tahun 1950.
Makanan hasil fermentasi kedelai yang sekarang banyak dikonsumsi di Asia adalah shoyu, miso dan tempe. Shoyu adalah nama yang dipakai untuk menunjuk saus kedelai pada umumnya, yang merupakan bumbu fermentasi bergaram yang diproduksi dari kedelai dengan atau tanpa gandum dan atau beras. Miso adalah pasta kedelai terfermentasi yang terkenal di Jepang, China, Korea dan negara-negara lain. Miso dibuat dari campuran kedelai yang telah dimasak dengan beras yang dikultur dengan kapang. Campuran ini kemudian ditambahkan dengan garam dan disimpan untuk proses fermentasi. Miso biasa digunakan untuk bumbu sup miso dan juga digunakan sebagai bumbu pada umumnya.
Tempe merupakan salah satu jenis makanan yang sangat terkenal di Indonesia. Saat ini, konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia diduga mencapai 6,45 kg. Proses pembuatan tempe didasarkan pada teknologi fermentasi tradisional dengan menggunakan jamur Rhizopus sp, terutama Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Produk fermentasi ini dikembangkan oleh sejak beberapa abad yang lalu dengan bahan baku kedelai yang hanya ditambah ragi tempe. Pada zaman dahulu, jamur yang menempel pada daun waru atau daun jati yang disebut usar dipergunakan sebagai ragi tempe. Dalam perkembangannya, ragi tempe dibuat dari jamur yang murni ditambah bahan-bahan lain seperti tepung beras dan bekatul sehingga berupa tepung yang lebih mudah digunakan. Penggunaan tepung ragi tempe dimulai sekitar tahun 1976 dan berkembang dengan cepat sehingga menggeser penggunaan usar. Sekarang ini, pengrajin tempe yang menggunakan usar sudah sangat sulit ditemui.
Karena kondisi lingkungan di Indonesia memiliki suhu rata-rata 300C dan kelembaban relative 75% sepanjang, maka tempe dapat diproduksi setiap saat tanpa mengatur kondisi untuk pertumbuhan jamur. Kondisi alam dan lingkungan yang  mendukung membuat industri tempe tumbuh subur di Indonesia, dari skala rumah tangga hingga skala besar.


   II.            PEMBAHASAN
Tempe dibuat dari kedelai utuh yang telah dimasak yang dikultur dengan kapang Rhizopus oligosporus dalam bungkusan daun pisang selama 40 jam pada suhu sekitar 30°C.

A.    BAHAN BAKU
Bahan baku tempe berupa biji dari tanaman kedelai, yaitu salah satu jenis tanaman polong-polongan. Klasifikasi tanaman kedelai adalah sebagai berikut:
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Sub Kingdom  : Tracheophyta (Tumbuhan Berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Tumbuhan Berbiji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan Berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida
Sub Kelas        : Rosidae
Ordo                : Fabales
Famili              : Fabaceae
Genus              : Glycine 
Spesies            : Glycine max (L.) Merr.
Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih atau hijau) dan Glycine soja (kedelai berbiji hitam).

B.     INOKULUM
Tempe merupakan produk olahan kacang kedelai melalui proses fermentasi dengan menggunakan inokulum atau laru. Inokulum tempe atau laru tempe yang sering disebut juga ragi tempe adalah suatu sediaan yang mengandung mikro organisme yang paling berperan dalam pembuatan tempe, yaitu kapang atau jamur. Pada beberapa ragi tempe, sering dijumpai pula mikroba selain kapang, yaitu bakteri, terutama bakteri Klebsela.
Di pasaran, ragi tempe dapat di jumpai dalam bentuk tepung atau berbentuk pertumbuhan jamur yang menempel pada daun waru atau daun jati yang biasa di kenal dengan nama “usar”. Bahan yang dipergunakan untuk pembuatan ragi tempe dalam bentuk tepung adalah beras, jagung atau ampas singkong atau umbi-umbian lainnya.
Berdasarkan atas tingkat kemurniannya, ragi tempe dapat dibedakan atas murni tunggal, campuran dan murni campuran. Tingkat kemurnian dari ragi tersebut dibedakan berdasarkan jenis dan banyaknya mikrobia yang terdapat pada ragi tersebut. Pada inokulum campuran selain kapang terdapat pula bakteri dan khamir dan inokulum jenis inilah yang umumnya dijumpai di pasaran  dan di gunakan untuk pembuatan tempe secara traditional. Inokulum murni dan campuran dapat di peroleh dengan cara memproduksi sendiri dengan menggunakan mikroba sesuai dengan yang diinginkan.
Syarat-syarat dari mikroba untuk dapat digunakan sebagai inokulum adalah sebagai berikut :
1)      Tidak bersifat patogen
2)      Dapat tumbuh dengan cepat dalam media organik yang cocok
3)      Mempertahankan sifat-sifat fisiologisnya
4)      Menghasilkan enzim yang dibutuhkan
Selain itu, faktor sanitasi dari peralatan yang digunakan perlu diperhatikan karena laru atau inokulum memegang peranan penting dalam pengolahan pangan secara fermentasi. Bila laru tersebut terkontaminasi dengan mikrobia yang tidak diinginkan terutama yang bersifat patogen maka dapat mengakibatkan keracunan bagi para konsumen. Untuk membersihkan alat-alat pengolahan dapat dipergunakan larutan desinfektan.
Mutu tempe tidak hanya ditentukan oleh cara pembuatan dan sanitasinya, tetapi juga ditentukan oleh jenis laru yang digunakan.  Hal ini disebabkan karena mikroorganisme yang dominan terdapat pada ragi tempe berbeda-beda untuk masing-masing jenis ragi. Mikroba yang berbeda akan menghasilkan rasa dan flavor tempe yang berbeda pula.
Dari penelitian yang dilakukan pada tempe malang, mikroba yang dapat ditemukan adalah kapang jenis R. Oligosporus, R. Oryzae, R. Arrhizus dan Mucorrouxii. Sedangkan tempe dari daerah surakarta, mikrobianya adalah R. stolonifer dan R. Oryzae, tempe dari Jakarta adalah Mucor javanicus, Trichosporon pullulans dan Fusarium sp. Perbedaan rasa dan flavor tempe yang terjadi karena masing-masing kapang menghasilkan enzim yang berberda-beda sehingga reaksi yang terjadipun akan berbeda. Kapang R. Oligosporus yang merupakan sepesies kapang yang utama dalam pembuatan tempe, mempunyai aktifitas prosentase dan lipaseyang tinggi, amilolitiknya rendah, menghasilkan antioksidan serta dapat menghasilkan tempe dengan flavor dan aroma khas tempe. Hal ini menyebabkan R. Oligosporus terutama R. Oligosporus NRRL 2710 baik untuk membuat tempe dari sercalia maupun campuran serealia dan kedelai.
Ada beberapa jenis inokulum yang dapat digunakan dalam pembuatan tempe, diantaranya adalah sebagai berikut :
1)      Laru dari tempe
Jenis laru ini mudah dibuat dan tidak membutuhkan kultur ataupun peralatan yang rumit
2)      Laru beras
Yang dimaksud dengan laru beras yang sudah diolah menjadi nasi sebagai media untuk menumbuhkan kapang. Untuk pembuatan laru ini sumber kapang dapat digunakan kultur murni kapang atau dari tempe yang sudah jadi.
3)      Laru singkong
Laru singkong adalah laru yang menggunakan singkong sebagai bahan dasar untuk mendumbuhkan kapang tempe.
4)      Usar
Bahan yang digunakan untuk pembuatan laru usar adalah daun terutama daun yang mempunyai bulu-bulu halus seperti misalnya daun waru dan daun jati dan bulu-bulu tersebut akan dipergunakan oleh kapang untuk menempel.
Selain beras dan singkong, bahan lain yang dapat digunakan untuk menumbuhkan kapang tempe atau untuk membuat laru tempe adalah agar, jagung, dedek, ubi jalar, tapioka atau gaplek. Sedangkan untuk daun selain daun waru dan daun jati, daun yang mempunyai permukan berbulu. Penggunaan bahan baku agar membutuhkan penanganan yang harus steril sehingga sulit untuk diterapkan untuk industri kecil atau industri rumahtangga. Hal ini disebabkan karena agar merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikrobia sehingga bila tidak bekerja secara aseptis kemungkinan terkontaminasi sangat besar.

C.    POSES PEMBUATAN TEMPE
Faktor yang perlu diperhatikan di dalam proses pembuatan tempe, terutama yang ditujukan untuk kepentingan komersial adalah bagaimana caranya menghasilkan tempe dengan mutu yang baik dan rendemen atau hasil yang tinggi dengan biaya produksi yang relatif murah. Untuk dapat mencapai hal itu, perlu disadari bahwa proses pembuatan tempe melibatkan mikroorganisme hidup (ragi) yang sesnsitif sehingga perlu dipelihara dengan baik dan hati-hati. Dalam pemeliharaan itu, harus tersedia zat gizi, suhu, dan kondisi medium yang optimal bagi pertumbuhan ragi.
Untuk menghasilkan tempe yang baik, paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1)      Faktor sanitasi harus diperhatikan pada setiap tahapan proses pembuatan tempe sehingga tidak terjadi kontaminasi
2)      Sebelum dilakukan penambahan ragi (inokulasi), biji kedelai yang telah direbus harus ditiriskan dengan baik untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk yang tidak diinginkan
3)      Suhu saat pemeraman (inkubasi) tempe perlu dikendalikan dan dibakukan dengan baik
Faktor sanitasi adalah faktor yang sangat penting dalam penentuan mutu tempe. Salah satu permasalahan kunci yang harus diperhatikan pada proses pembuatan tempe adalah adanya kontaminasi oleh bakteri pembusuk. Seperti diketahui, proses pembuatan tempe merupakan suatu proses fermentasi, yaitu suatu proses yang mengandalkan pertumbuhan mikroorganisme ragi tempe (yaitu kapang Rhizopus). Dengan demikian, pertumbuhan mikroorganisme selain ragi tempe akan memberikan hasil yang kurang maksimal atau bahkan menyebabkan kegagalan proses. Oleh karena itu, perumbuhan mikroorganisme selain ragi, khususnya bakteri, harus dihambat.
Perlu diketahui bahwa bakteri merupakan mikroorganisme dengan ukuran yang sangat kecil dengan diameter rata-rata sekitar satu mikrometer. Jika kondisi pertumbuhannya memungkinkan, bakteri dapat tumbuh dengan sangat cepat melebihi pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Dalam proses pembuatan tempe, pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan ini dapat dikendalikan dengan 3 cara utama, yaitu:
1)      Pencegahan kontaminasi dengan cara membersihan peralatan, bekerja pada tempat yang bersih dan bebas debu, mencuci tangan dengan sabun sebelum menyentuh bahan makanan  dan sesudah keluar dari kamar mandi, menutup hidung dengan masker, menjaga kebersihan pakaian, menggunakan penutup rambut/hair net saat bekerja, dan memasak kedelai dengan baik yang diikuti proses penirisan secara tuntas
2)      Penghambatan pertumbuhan bakteri dengan cara mendinginkan secara cepat setelah tempe jadi, melakukan pengemasan dengan baik, serta melakukan penyimpanan, transportasi dan penjajaaan pada suhu dingin
3)      Melakukan proses pasteurisasi atau sterilisasi pada produk tempe yang setelah jadi
Secara garis besar, metode pembuatan tempe yang banyak digunakan oleh para perajin, pembuat dan pengusaha tempe dapat dibedakan berdasarkan metode pengupasan kulit kedelai, yaitu apakah kedelai tersebut dikupas secara basah atau dengan cara kering. Ciri utama pada proses pengupasan kedelai dengan cara basah adalah adannya proses perendaman dalam air panas (sering pula disebut sebagai proses pemasakan awal, pre-cooking), pemanasan atau pemasakan pada air yang diasamkan dan dilanjutkan dengan proses pemeraman (inkubasi) pada kantong plastik polietilen (PE) yang telah diberi lubang. Proses pengupasan dengan cara kering lebih tepat dilakukan oleh industri tempe skala menengah atau besar.
Gambar 1. Proses Pembuatan Tempe Melalui Pengupasan Kedelai dengan Cara Basah


Gambar 2. Proses Pembuatan Tempe Melalui Pengupasan Kedelai dengan Cara Kering






















1.      PENGUPASAN
a.                   Metode Pengupasan Kering
Sebelum dilakukan pengupasan, perlu dilakukan proses pengeringan atau pra-pemanasan yang didahului dengan usaha pengkelasan kedelai berdasarkan ukuran agar tempe yang dihasilkan memiliki penampilan organoleptik yang menarik. Perlakuan pengeringan atau pra-pemanasan akan membuat kulit kedelai pecah sehingga kedelai lebih mudah dikupas serta mencegah terlarutnya nutrisi dalam kedelai ke air perendam. Pra-pemanasan dapat dilakukan dengan cara memasukkan kedelai dalam oven pada suhu 177° C selama 5 menit atau dengan cara memberikan sirkulasi udara panas bersuhu 93° C selama 10 menit yang akan mengurangi kadar air kedelai sebanyak 6%.
Sebagai pedoman umum, biji kedelai yang akan dikupas dengan metode pengupasan kering sebaiknya mempunyai kadar air kurang dari 8 %. Jika kadar airnya terlau tinggi, maka proses pengupasan cara kering tidak akan memberikan hasil yang memuaskan karena mengakibatkan kerusakan pada biji kedelai.
Setelah dibersihkan, kedelai kemudian dikupas dengan mengggunakan mesin penggiling. Hasil kupasan dibersihkan dengan menggunakan mesih pembersih (aspirator atau mesin penghisap pneumatik).
b.      Metode Pengupasan Basah
Sebelum dilakukan pengupasan, biasanya dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan berupa pencucian, perebusan dan perendaman (sering pula disebut sebagai tahapan pra-fermentasi atau fermentasi awal).
Proses pencucian dapat dilakukan dengan merendam kedelai kering dalam wadah berisi air bersih. Setelah itu, dilakukan agitasi dengan mesin atau diaduk dengan tangan yang dilanjutkan dengan penirisan. Proses ini dapat dilakukan secara berulang-ulang hingga air pencuci menjadi bening. Perebusan penting dilakukan setelah pencucian untuk melunakkan kulit kedelai agar mudah dikupas, mengurangi waktu pemasakan serta mengurangi populasi bakteri yang ada pada permukaan kulit kedelai.
Tahap perendaman atau tahap pra-fermentasi dilakukan agar keasaman biji kedelai turun mencapai pH antara 3,5-5. Nilai pH yang rendah ini akan menghambat pertumbuhan bakteri setelah inokulasi dilakukan tanpa menghambat pertumbuhan ragi tempe (Rhizopus).
Pembuatan tempe dengan metode kupas basah banyak dilakukan oleh perajin tradisional, dimana proses pengupasannya dilakukan dengan cara menginjak-injak kedelai secara langsung atau dengan memasukkan kedelai ke dalam karung terlebih dahulu. Namun demikian, dari aspek estetika dan sanitasi, cara ini kurang memenuhi persyaratan sehingga sebaiknya tidak dilakukan.
Cara pengupasan basah yang disarankan adalah pengupasan dengan menggunakan mesin pengupas yang telah tersedia di pasaran. Alat atau mesin yang tepat guna untuk pengupas kedelai secara basah ini di antaranya adalah alat pengupas tipe rol dan mesin burmill.

2.      PENGASAMAN
Sebelum proses pemasakan, dalam proses pembuatan tempe di Indonesia, pada umumnya kedelai telah mengalami masa pra-fermentasi yang cukup. Kondisi demikian akan mendukung peertumbuhan ragi tempe sekaligus menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk.  Namun pada kondisi suhu yang cukup dingin atau pada proses pembuatan tempe dengan metode pengupasan kering, pra-fermentasi pada umumnya kurang berjalan dengan baik sehingga untuk mencapai nilai pH yang cukup rendah perlu ditambah dengan pengasam (acidulan) seperti asam laktat, asam asetat atau asam sitrat.
Penambahan bahan pengasam dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ditambahkan pada air pemasak selama pemasakan akhir atau ditambahkan secara langsung pada kedelai setelah ditiriskan dan didinginkan pada suhu kamar (25-27°C) . Jumlah asam yang ditambahkan beragam tergantung pada suhu dan pH akhir yang dicapai pada saat pra-fermentasi. Penambahan asam yang terlalu banyak justru dapat menghambat pertumbuhan ragi tempe itu sendiri. Pengasaman ini tidak mempengaruhi flavor dan cirarasa tempe yang dihasilkan karena Rhizopus memproduksi amonia dalam jumlah yang cukup untuk menetralisasi asam.
Peralatan yang digunakan pada proses perendaman atau pra fermentasi dapat berupa tong plastik atau drum logam yang tahan terhadap korosi oleh asam. Selain itu, dapat juga digunakan bak semen yang dilapisi porselen. Perusahaan besar sangat dianjurkan untuk menggunakan alat perendaman dari bahan tahan karat seperti baja tahan karat.

3.      PEMASAKAN
Pemasakan kedelai bertujuan  untuk mengempukkan biji kedelai sehingga memudahkan bagi ragi tempe untuk tumbuh dan miseliumnya menembus serta merajut biji kedelai yang satu dengan yang lain sehingga akan diperoleh tempe dengan struktur padat, kompak dan mudah diiris. Pemasakan juga penting untuk meningkatkan daya cerna tempe yang dihasilkan, menghilangkan zat anti gizi (tripsin inhibitor), menghentikan proses pra fermentasi dan membunuh bakteri yang tidak dinginkan.
Pada proses pemasakan ini biasanya ditambahkan air sebanyak 2 liter untuk setiap 0,5 kg kedelai kering. Biji kedelai harus direndam secara sempurna di dalam air dengan cara menambahkan air secara berlebihan sehingga permukaan air berada sekitar 10 cm di atas permukan biji kedelai yang paling atas.
Lama waktu pemasakan biji kedelai tergantung dari bagaimana dan seberapa laa kedelai tersebut telah mengalami perendaman, pra-pemasakan, kondisi biji kedelai yang digunakan dan banyak biji yang akan dimasak. Pemasakan yang terlalu lama akan membuat biji kedelai mudah hancur, asam-asam amino dalam kedelai rusak dan daya cerna tempe menurun.

4.      PENIRISAN DAN PENDINGINAN
Setelah selesai pemasakan, maka kedelai harus ditiriskan sampai tuntas. Penirisan dapat dilakukan menggunakan sistem sentrifusa selama beberapa menit. Sebelum dilakukan penambahan ragi, kedelai yang sudah ditiriskan harus segera didinginkan dengan cepat hingga mencapai suhu kamar, yaitu sekitar 25-27°C. Jika inokulasi ragi dilakukan pada saat suhu kedelai masih tinggi, makan akan terjadi inaktivasi ragi. Penambahan ragi pada suhu lebih dari 47°C dapat membunuh starter spora Rhizopus sehingga aktivitasnya akan sangat berkurang.
Penirisan secara tuntas merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menjamin berhasilnya proses pembuatan tempe. Penyebab utama kegagalan proses pembuatan tempe selama fermentasi (terutama terjadinya kebusukan oleh pertumbuhan bakteri) umumnya terjadi karena kurang sempurnya proses penirisan sehingga akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri secara berlebihan yang sekaligus menghambat pertumbuhan ragi tempe.
Penirisan dapat dilakukan dengan cara menempatkan kedelai yang teleh dimasak secara tersebar pada  tempat yang bersih dan diberi kain penyerap air (absorben) atau dengan menempatkan kedelai pada wadah yang berlubang seperti kasa berlubang.

5.      PENAMBAHAN RAGI
Secara umum, jenis atau tipe kultur (starter) atau ragi yang ada dapat dibagi menjadi 3, yaitu kultur murni, kultur campuran  murni , dan kultur campuran. Kultur murni hanya terdiri atas kapang dan spora Rizhopus oligosporus, sedangkan kultur campuran murni selain mengandung mikroorganisme utama juga mengandug bakteri Klebsiella yang mampu memproduksi vitamin B 12. Kultur campuran banyak digunakan di  Indonesia karena mempunyai banyak keuntungan, seperti memberikan flavor yang, daya cerna, dan keawetan yang lebih baik serta nilai gizi yang lebih tinggi.
Ragi sebaiknya ditambahkan pada kedelai yang sudah dimasak dan sudah ditiriskan dan didinginkan. Kondisi kedelai yang siap untuk diinokulasi dengan ragi adalah adalah biji kedelai masak dengan keasaman atara pH 4,8 -5, kadar air pada kisaran 45-55% dan suhu sudah berkisar antara 37-43°C.
Pencampuran ragi pada biji kedelai dapat dilakukan dengan menggunakan tangan jika jumlah produksi masih kecil. Namun untuk produksi skala besar, diperlukan mixer tipe tumbling atau tipe double cone supaya ragi dapat tercampur secara merata.

6.     PEMBUNGKUSAN
Setelah ditambahkan ragi dan dicampur secara merata, maka kedelai siap dibungkus. Untuk memudahkan pembungkusan disarankan untuk menggunakan alat bantu pengisi yang ukurannnya disesuaikan dengan ukuran pembungkus. Alat ini juga dapat digunakan sebagai alat pengukur atau penakar sehingga setiap bungkus tempe mempunyai ukuran berat yang sama. Untuk memperoleh hasil tempe yang baik disarankan ketebalan lapisan kedelai tidak melebihi 5 cm. Ketebalan tempe yang  baik umumya adalah sekitar 3 cm.
Jenis pembungkus yang bisa digunakan beragam, mulai dari daun pisang sampai plastik. Pembungkus plastik yang sering digunakan adalah jenis polietilen. Plastik ini dapat ditutup dengan baik menggunakan  pengelas plastik menggunakan panas (heat sealer). Selain menggunakan alat pengelas plastik, penutupan juga dapat dilakukan secara sederhana menggunakan nyala api lilin.

7.      PEMERAMAN
Setelah dibungkus, kemudian dilakukan proses pemeraman atau inkubasi. Umumnya proses ini dilakukan selama 20 jam pada suhu 37°C. Di Indonesia, ruang inkubasi cukup berupa lemari yang terbuat dari kayu yang diberi rak-rak dan tertutup. Untuk menjaga suhu dalam lemari pemeraman, dapat digunakan dua buah lampu listrik berdaya 60 watt pada bagian paling bawah lemari. Lampu ini dihubungkan dengan pengatur suhu sederhana (thermostat) yang dapat diperoleh di toko listrik. Untuk memberikan keseragaman suhu, di dalam ruang pemeraman dapat pula diberikan kipas angin berkecepatan rendah.
Proses pemeraman tempe (yaitu untuk merangsang pertumbuhan kapang kedelai) memerlukan kelembaban udara yang sesuai, yaitu sekitar 70-85 %. Jika dimungkinkan, kelembaban ini dapat diatur dengan menggunakan berbagai alat. Namun demikian, kondisi kelembaban di Indonesia pada umumnya cukup baik untuk proses pemeraman sehingga tidak diperlukan alat pengatur kelembaban ini.

D.    KEJADIAN DALAM PROSES
Selama proses fermentasi berlangsung, kacang kedelai mengalami perubahan baik fisik maupun kimia. Biji kedelai menjadi lebih lunak dan lebih mudah dicerna, bau langu hilang serta protein dan karbohidrat mengalami pemecahan oleh aktivitas enzim yang diproduksi kapang menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana. Protein kedelai diuraikan oleh enzim proteolitik menjadi asam-asam amino sehingga nitoren (N) terlarut akan mengalami peningkatan.
Selama proses perebusan dan perendaman terjadi peningkatan kadar air kacang kedelai yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang. Pada 24 jam pertama fermentasi akan terjadi penurunan kadar air menjadi  61 %. Namun demikian, pada jam-jam berikutnya sampai waktu fermentasi selesai terjadi peningkatan kadar air kembali. Kejadian tersebut dapat diamati jelas dengan mata telanjang. Pada pembuatan tempe dengan menggunakan kantung platik, pada jam-jam setelah pemeraman berlangsung satu malam akan terlihat butiran-butiran air pada kantung plastik. Tetapi pada jam-jam selanjutnya, butiran tersebut akan menghilang. Hal ini berarti bahwa air yang semula ada pada plastik diserap kembali oleh kacang kedelai yang sudah hampir menjadi tempe. Jadi, air yang pada tahap awal fermentasi keluar dari tempe (kadar air menurun) akan diserap kembali oleh kacang kedelai pada tahap akhir fermentasi, sehingga kadar air tempe meningkat kembali.
Perubahan lain yang dapat diketahui adalah terjadinya penurunan kandungan oligosakarida yang dapat menyebabkan flatulensi (timbulnya gas pada perut), yaitu rafinosa dan stakiosa. Penurunan zat tersebut terus berlangsung sampai fermentasi berlangsung 72 jam. Kandungan serat kasar dan vitamin B6 mengalami peningkatan. Sebaliknya, kandungan vitamin B1 akan menurun.

E.     PEMANENAN TEMPE
Tempe yang baik dicirikan oleh permukaan yang ditutupi oleh miselium kapang secara merata, kompak dan berwarna putih. Antar butiran kacang kedelai dipenuhi oleh miselium dengan ikatan yang kuat dan merata sehingga ketika diiris tempe tersebut tidak akan hancur. Adapun ciri-ciri tempe yang kurang baik adalah pertumbuhan kapang yang tidak merata, kedelai mengalami pembusukan, berlendir, berbau amoniak atau alkohol dan berasa asam.
Tabel 1. Penyimpangan Mutu Tempe dan Penyebabnya
No
Jenis Penyimpangan Mutu
Penyebab
1.
Tempe terlalu basah
1)      Suhu fermentasi terlalu tinggi
2)      Kelembabab udara terlalu tinggi
3)      Kedelai terlalu basah karena tidak ditiriskan secara sempurna
4)      Lubang pembungkus terlalu kecil
5)      Alat yang digunakan tidak higienis
2.
Tempe tidak kompak
1)      Kapang tidak aktif atau mati
2)      Laru terlalu sedikit atau terlalu tua
3)      Pengadukan laru tidak merata
4)      Waktu fermentasi kurang lama
5)      Suhu fermentasi terlalu rendah
3
Tampak bercak-bercak hitam pada permukaan tempe
1)      Adanya pembentukan spora karena oksigen yang terlalu banyak
2)      Fermentasi terlalu lama
3)      Suhu terlalu tinggi
4)      Kualitas laru rendah
5)      Kelembaban udara terlalu rendah
4
Tempe berbau amoniak atau alkohol
1)      Fermentasi terlalu lama
2)      Suhu terlalu tinggi
3)      Alat yang digunakan tidak higienis
4)      Kadar air terlalu tinggi
5
Tempe pecah-pecah dan pertumbuhan kapang tidak merata
1)      Pencampuran laru kurang merata
2)      Suhu ruang inkubasi tidak merata

6
Tempe mengalami overheating
1)      Pengatur suhu dan kelembaban kurang baik
2)      Suhu terlalu tinggi
3)      Ruang inkubasi terlalu tertutup
4)      Bahan yang digunakan terlalu banyak
7
Tempe beracun
1)      Bahan dan atau laru terkontaminasi bakteri patogen atau zat kimia beracun
2)      Ruang dan alat tidak higienis


F.     KANDUNGAN GIZI PADA TEMPE
Selama proses fermentasi, terjadi penguraian dan penyederhanaan komponen-komponen yang ada dalam kedelai menjadi komponen yang lebih kecil dan sederhana sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Perubahan tersebut dikatalis oleh enzim yang diproduksi oleh kapang.
Kapang yang berjasa dalam meningkatkan manfaat gizi kacang kedelai adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae yang memproduksi enzim amylase serta Rhizopus arhizis dan Rhizopus stolonifer yang memproduksi enzim pektinase.
Tabel 2. Perbandingan Nilai Gizi pada Kedelai Mentah dan Tempe
Zat Gizi dan Faktor Mutu Gizi
Kedelai Mentah
Tempe
Kadar zat gizi (% bk)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Abu (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)

46.2
19.1
28.5
3.7
6.1
254
781
11

46.5
19.7
30.2
7.2
3.6
347
729
9
Faktor mutu gizi
Nilai cerna
Nilai biologis
PER
NPV standar

75-89 (82)
41-47
0-16
48-61

83
-
2.12
-

Dari seluruh protein dalam tempe, sekitar 56% dapat dimanfaatkan oleh manusia dan tiap 100 gram tempe segar dapat menyumbangkan 10.9 gram protein. Protein kacang kedelai dan tempe merupakan protein yang lengkap karena mengandung 8 asam amino essensial  (tidak diproduksi dalam tubuh).
Asam amino esensial dalam tempe memiliki komposisi cukup baik, kecuali kandungan keioninnya yang ternyata relative lebih kecil dan merupakan faktor pembatas. Tempe mengandung lisin dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat digunakan untuk komplementisasi protein yang ada dalam serelia yang biasanya miskin lisin.
Selama dan sesudah fermentasi jumlah nitrogen tetap, tetapi jumlah asam amino bebasnya meningkat. Hal ini disebabkan oleh terurainya protein menjadi peptida dan asam amino oleh ativitas enzim yang diproduksi oleh kapang. Peningkatan jumlah asam amino bebas meningkatkan penyerapannya.

Tabel 3. Komposisi Asam Amino Protein Kedelai dan Tempe (mg/g Nitrogen) Dibandingkan dengan Bahan Makanan Lain dan Pola Referens FAO/WHO
Asam Amino
Pola FAOa
Kedelaib
Tempe Kedelaib
Telurb
Berasb
Gaplekb
Metionin
220
84
71
192
112
112
Sistin
-
81
101
150
64
-
Threonin
250
247
267
302
226
225
Valin
310
291
349
437
370
262
Lisin
340
391
404
417
223
544
Leusin
440
494
538
547
530
338
Fenilalanin
380
341
305
348
351
202
Tirosin
-
165
170
240
225
60
Isoleusin
250
290
340
378
269
247
Tripofan
60
76
84
106
74
-

aFAO/WHO (1973)
bU.S.Dept. Of Health, Education an Welfare dan WHO (1972)
            Tempe mengandung vitamin B12 yang jarang ditemukan pada produk nabati. Vitamin B12 merupakan vitamin yang memiliki struktur molekul yang sangat kompleks, di dalamnya terdapat sebuah atom kobalt yang terikat.  Vitamin ini terdapat dalam berbagai bentuk, tetapi yang paling aktif adalah kobalamina dan sianokobalamina. Dibandingkan dengan vitamin lainnya, vitamin B12 memiliki struktur yang paling kompleks.
            Vitamin B12 larut dalam air dan tahan panas. Sianokobalamin menjadi inaktif oleh cahaya, asam keras dan karutan alkali, tetapi dengan proses pemasakan biasa kehilangan vitamin ini relative kecil. Secara alamiah, vitamin B12 disintesis oleh mikroba. Sumber  utama vitamin B12 hewani adalah daging, susu, telur dan organ tubuh hewan lainnya seperti hati dan ginjal. Vitamin B12 telah diketahui ada pada produk fermentasi kedelai, ganggang laut dan mikrobia. Beberapa varietas kacang kedelai mengandung vitamin B12 kurang dari 1mg/gram.
            Vitamin B12 berperan dalam memelihara sel-sel tubuh agar dapat tetap berfungsi normal, terutama sel-sel dalam saluran pencernaan, sistem saraf dan sumsum tulang. Defisiensi vitamin B12 umumnya terjadi akibat dari kurang sempurnanya sistem penyerapan pada saluran pencernaan, tetapi dapat juga terjadi akibat menu makanan yang sebagian besar berupa bahan nabati.
            Beberapa manfaat tempe antara lain:
1)      Sebagai sumber protein
Tempe mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi dengan asam amino essensial yang lengkap.
2)      Sebagai  sumber mineral
Tempe berperan dalam penyediaan mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Selama proses fementasi berlangsung, ketersediaan kalsium , zat besi, tembaga dan seng meningkat.
Tabel 4. Kandungan Mineral pada Tempe
Zat Terkandung
Tempe
Zat besi (Fe)
Segar
4 mg/100 g
Kering
9 mg/100 g
Cu
2.87
Zn
8.05

3)      Sebagai sumber zat besi
Meskipun kacang kedelai tergolong bahan pangan yang kandungan asam fitatnya cukup tinggi, namun tempe berpotensi dalam penanggulangan anemia besi. Hal ini terjadi karena selama fermentasi di dalam tempe akan terbentuk enzim fitase yang dapat memecah asam fitat sehingga zat besi dapat larut dan diserap dengan lebih baik. Selama proses fermentasi, terjadi pemecahan senyawa organik kompleks yang menyebabkan persentase zat besi yang larut meningkat. Peningkatan kelarutan zat besi ini menyebabkan mutu zat besi dalam tempe menjadi lebih baik.


III.            KESIMPULAN
Tempe merupakan salah satu produk pangan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein dan asam amino, kalsium, zat besi serta vitamin B12 yang baik. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nutrisi pada kedelai relatif lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh karena berada dalam bentuk yang lebih sederhana serta karena telah terurainya faktor anti-nutrisi. Agar dihasilkan tempe dengan  mutu yang baik, faktor-faktor seperti sanitasi alat dan bahan, suhu pemeraman, jenis laru yang digunakan serta pH kedelai sebelum inokulasi perlu diperhatikan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar