BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem keadilan dan demokrasi yang berlaku di Indonesia selalu mengacu dan berbasis kepada Pancasila dan didukung oleh UUD 1945. Pancasila pun menjadi sebuah landasan dalam penentuan prinsip dan pandangan hidup. Namun dewasa ini semakin banyak penyimpangan nilai – nilai Pancasila berdasarkan butir – butir yang terkandung di dalamnya. Namun nilai tersebut serasa hilang jika dibandingkan dengan kehidupan Bangsa pada zaman ini. Penyimpangan pun sudah dianggap hal yang biasa dilakukan, dianggap sebagai sesuatu yang ‘bisa dilanggar’ menjadi ‘biasa dilanggar’.
Dalam sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan”, terkandung butir – butir nilai antara lain (1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. (2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. (5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. (6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. (7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. (8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. (9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. (10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. Namun butir nilai yang terkandung dalam sila tersebut semakin hilang dan tersamarkan artinya. Contoh kecil adalah semakin berkurangnya sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai Negara Indonesia, kita menganut sistem Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.
B. Perumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat masalah yang berkaitan dengan butir nilai sila ke-4 yaitu tentang pro-kontra Pemilihan Umum Presiden. Masalah yang akan kita bahas adalah mengenai “Ketidaksesuaian Pemilihan Umum Presiden dengan Kandungan Nilai Pancasila”.
C. Tujuan
Mengetahui dan meninjau sejauh mana sila ke-4 Pancasila dapat berlaku pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
Tinjauan Masalah
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah semakin tergeser dari fungsi dan kedudukannya dalam era demokrasi ini. Sebuah sila dari Pancasila yang hampir tidak diterapkan lagi dalam demokratisasi di Indonesia yaitu Sila ke-4 Pancasila berbunyi ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Penggalan kata dari sila ke-4 yaitu :
Kerakyatan disini adalah rakyat Indonesia itu sendiri, Hikmat kebijaksanaan adalah sebuah lembaga perwakilan kerakyatan (dalam hal ini DPD,DPRD, DPR) yang mempunyai kewenangan dan kebijaksanaan dan berperan sebagai wakil rakyat. Sedangkan permusyawaratan perwakilan adalah sebuah musyawarah sampai menemui kata mufakat.
Hal ini terlihat jelas pada pelaksaan pemilu yang berbeda jauh dari pelaksanaan pemilu pada saat Orde Baru. Pemilu saat ini, baik pemilihan Caleg, Bupati, Gubernur, bahkan sampai tingkatan Presiden semua warga negara Indonesia diberi hak sepenuhanya untuk ikut memilih. Padahal dalam sila ke-4 Pancasila jelas- jelas disebutkan bahwa Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Namun, dalam kenyataannya, pelaksanaan pemilu (permusyawaratan perwakilan) dalam pelaksaan demokrasi di Indonesia ini, semua rakyat ikut serta dalam pemilihan tersebut. Hal ini ada baiknya, ada buruknya pula. Baiknya yaitu kita bisa belajar menghargai pendapat orang lain. Namun buruknya adalah yang menjadi pemenang bukan dilihat dari kualitas, tetapi menang karena kuantitas. Hal ini disebabkan karena pemilih kebanyakan adalah rakyat biasa, dan jika dilihat dari rata- rata pendidikan di Indonesia yang mencapai pendidikan tingkat menengah saja kurang dari 30% dari total seluruh penduduk Indonesia, dan mereka yang ikut memilih belum tentu mengerti dan paham kinerja dan prestasi calon yang akan ditarungkan pada pemilu tersebut. Karena hal inilah mengapa dalam Pancasila (sila ke-4) sudah diatur bahwa yang berhak memilih hanyalah wakil- wakil rakyat yang mempunyai kebijakan (DPD, DPRD, DPR), pendidikan dan pemahaman tentang calon - calon yang akan dipilih yang lebih tinggi dan luas dari kebanyakan rakyat di Indonesia,para wakil - wakil rakyat tentunya akan memilih calon berdasarkan kualitas dan berusaha memilih yang terbaik untuk rakyatnya. Bayangkan jika misal lebih dari 80% penduduk Indonesia yang berpendidikan rendah dan belum paham betul siapa dan bagaimana karakteristik calon yang akan dipilih, mereka semua diberi hak untuk memilih, tentu saja mereka tidak akan memilih berdasarkan kualitas, mereka akan memilih karena ajakan teman atau tetangga, memilih calon yang telah mengadakan kampanye di daerahnya dan membagi - bagikan banyak uang agar dipilih. Hal ini sangat menyedihkan karena bisa saja jika sudah terpilih nanti, calon tadi tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, malah bisa saja melakukan korupsi dan kejelekan- kejelekan lain yang bisa menjatuhkan namanya atau bahkan institusinya bahkan partai yang mengusungnya. Memang dalam pemilihan caleg DPD, DPRD, dan DPR rakyat harus ikut memilih tetapi dalam pemilihan bupati, gubernur dan presiden, yang berhak memilih hanyalah wakil-wakil rakyat saja (sesuai dengan sila ke-4). Namun dalam pelaksanaannya, baik memilih bupati, gubernur, maupun presiden semua rakyat Indonesia saat ini diberi hak untuk memilih. Mungkin saja, Indonesia meniru sistem politik Amerika. Namun dalam hal ini Amerika sendiri sudah sejak berabad- abad yang lalu menerapkan demokrasi dan jelas bahwa demokrasi di Amerika sudah tertata rapih dibanding Indonesia. Tidak usah kita bandingkan antara pemilu Amerika dan Indonesia. Kita sudah banyak melihat pemilihan bupati dan gubernur di berbagai daerah di Indonesia, hampir semuanya diwarnai kericuhan karena tidak terima calon bupati atau gubernurnya kalah dalam pemilu, para massa yang mendukung pasti akan mengadakan demonstasi, bahkan seringkali merusak kantor yang menangani perhitungan suara pemilu. Hal ini tidak akan terjadi apabila dalam pemilihan bupati atau gubernur diwakilkan oleh wakil rakyat saja (DPD dan DPRD, DPR jika pemilihan presiden) Tidak hanya pemilu saat ini saja yang telah jauh dari pancasila. UUD 1945 yang diamandemen dengan seenaknya dan sudah berjalan beberapa kalipun termasuk dalam penyimpangan Pancasila. Bagaimana negara ini akan maju, jika dasar negara yang telah dibuat oleh para pendiri negara kita tidak kita hiraukan lagi.
Dampak Permasalahan
Berdasarkan masalah – masalah yang telah diuraikan diatas, setiap opsi baik sistem pemilihan secara langsung maupun pemilihan perwakilan pada akhirnya memiliki nilai tambah dan kurang masing – masingnya. Pemilihan secara langsung akan menjadikan presiden sebagai seorang yang tunggal kekuasaannya tanpa pengaruh pihak manapun. Atau dapat disebut sebagai sistem pemerintahan presidensial. Berikut adalah dampak negatif dari sistem pemerintahan presidensial :
1. Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.
2. Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
3. Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
4. Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.
5. Menciptakan perilaku KKN.
6. Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
7. Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden
Sedangkan dampak positifnya adalah :
1. Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
2. Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
3. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
4. Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
Dilihat dari sistem pemilihannya, maka opsi lain yaitu pemilihan oleh badan parlemen seperti MPR/DPR termasuk kedalam sistem parlementer. Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan dimana badan parlemen memiliki kekuasaan lebih tinggi dibandingkan presiden. Pada sistem pemerintahan ini, presiden menjadi “pelaksana komando” yang dicanangkan oleh parlemen. Berikut ini adalah ciri – ciri sistem parlementer :
1. Badan legislative atau parlemen adalah satu satunya badan yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
2. Anggota parlemen terdiri atas orang- orang dari partai politik aygn memenangkan pemilihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
3. Pemerintah atau kabinet terdiri atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksanakan kekuasaan eksekutif. Dalam system ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana meteri sebagai kepala pemerintahan.
4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu - waktu perlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
5. Kepala Negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden/sultan/raja
6. Sebagai pengimbangnya, parlemen dapat menjatuhkan kabinet. Kepala Negara dapat membubarkan parlemen. Dengan demikian, presiden/ raja atas saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk memebentuk parlemen baru.
Sedangkan kelebihan dan kelemahan sistem parlementer antara lain adalah :
Kelebihan
· Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena terjadi menyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini disebabkan kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
· Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
· Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap cabinet sehingga cabinet menjadi berhati – hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan
· Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu- waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
· Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu- waktu kabinet dapat bubar.
· Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, anggota cabinet dapat menguasai parlemen.
· Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan - jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Kenyataan
Berdasarkan pemilu yang telah dilakukan oleh beberapa daerah ataupun wilayah di Indonesia yang hasil dari pemilihan tersebut akan dijadikan sebagai calon legislatif yang akan memimpin daerah tersebut. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanankan di Indonesia sangatlah demokratis jika dilihat dari proses pemilihannya semua penduduk akan memiliki hak pilih masing-masing untuk memilih calon pemimpin yang mereka jagokan. Akan tetapi melalui proses pemilihan yang demokratis tersebut mulai muncullah kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para calon pemimpin daerah tersebut.
Tindak kecurangan yang pertama adalah money politic yang sangat sering kita dengarkan setiap kali diadakannya pemilu. Kecurangan ini dilakukan dengan cara memberikan sejumlah uang yang nantinya akan diberikan kepada penduduk yang memiliki hak pilih. Sehingga para penduduk tersebut akan tergiur oleh uang yang diberikan dari calon legislatif tersebut dan penduduk langsung memberikan hak suaranya kepada calon legislatif walaupun model kepemimpinan dari calon tersebut sangatlah jelek dan kurang memihak kepada rakyatnya.
Tindak kecurangan yang kedua ialah pemilih yang memiliki hak suara ganda. Model kecurangan yang satu ini merupakan model kecurangan yang baru keluar pada pemilu yang terakhir ini. Praktek dari kecurangan ini adalah pada seorang pemilih mendapatkan kartu identitas pemilih double sehingga dia memiliki hak pilih sebanyak dua kali. Proses dari pembuatan kartu hak pillih ini didasarkan atas dasar pendataan yang dilakukan oleh para ketua RT yang mendata waranya yan telah mencapai kriteria sebagai pemilih yang sah. Kemudian data yang diperoleh tersebut akan diserahkan kepada kantor desa dan dilanjutkan lagi kepada Komisi Pemilihan Umum(KPU) bagian kota/kabupaten yang akan diserahkan kepada KPU pusat untuk melakukan proses pendataan ulang yang nantinya akan membuat kartu sebagai bukti memperoleh hak pilih pada saat pemilu. Entah pada proses yang mana telah terjadi kesalahalan pendataan terhadah para calon hak pilih sehingga banyak pemilih yang memiliki hak pilih yang ganda. Efeknya dari kepemilikan hak pilih ganda tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertangung jawab untuk memperoleh suara yang sebanyak-banyaknya agar mereka berhasil menjadi pemimpin daerah tersebut.
Tindak kecurangan yang ketiga adalah adanya kesalahan terhadap pendataan warga yang memilki hak pilih, misalnya warga yang sudah meninggal dunia masuk dalam data warga yang memiliki hak pilih dan ada juga seorang bayi yang baru lahir sekitar dua bulan juga telah terdata sebagai warga yang memiliki hak pilih yang sah. Dari data yang salah tersebut dimanfaatkan oleh para calon legislatif untuk mendapatkan suara dengan menggunakan nama pemilik suara tetapi orang yang akan memilih tersebut bukanlah orang yang tercantum dalam kartu pemilih. Orang tersebut adalah orang suruhan dari anggota calon legislatif untuk memperoleh suara yang lebih banyak
Tindak kecurangan yang selanjutnya adalah kertas suara yang telah dimasukkan didalam kotak suara seharusnya dikunci dengan gembok kemudian dilakukan penyegelan pada gembok tersebut. Akan tetapi hal ini terjadi lain pada suatu daerah yang menyelenggarakan pemilu, pada daerah tersebut tidak melakukan penyegelan pada gembok yang digunakan untuk mengunci kotak suara. Sehingga ada beberapa oknum dari anggota calon legislatif dapat dengan leluasa untuk merubah suara yang telah dipilih oleh para warga. Dengan penggantian tersebut mereka dapat merusak suara yang diberikan kepada musuh mereka dan menggantinya dengan suara yang dapat menambah suara untuk calon legislatifnya sendiri.
Penyelesaian
Melihat kenyataan dan fakta yang telah dipaparkan sebelumnya, diketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang sama sekali belum siap apabila seluruh sistem pemerintahannya hanya dipercayakan kepada ‘Wakil – wakil Rakyat’nya, walaupun hal tersebut dapat dilihat sebagai penyimpangan dari nilai Pancasila.
Maka jika kita lihat dari beberapa hal yang telah kita bahas, terdapat dua jenis pemilihan yang selalu menjadi pro-kontra di Negara Indonesia ini, yaitu pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung. Yang mana pemilihan langsung berdasar demokrasi langsung yaitu proses demokrasi bersih, disini rakyat diberi kebebasan secara mutlak untuk memberikan pendapatnya. Sedangkan pemilihan tidak langsung berdasar demokrasi perwakilan yaitu demokrasi yang dilakukan oleh Wakil Rakyat yang sebelumnya telah dipilih dan diambil dari rakyat. Dua pemilihan tersebut merupakan jenis demokrasi yang masih tercakup dengan luas dalam demokrasi Pancasila, namun saat ini Indonesia menggunakan sistem demokrasi langsung. Dimana hasil keputusan rakyat menjadikan suatu hal yang mutlak, seperti pada prinsip demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Setelah kita mengetahui sisi positif dan negatif dari tiap opsi pemilihan, kita dapat membuat suatu penyelesaian atas masalah yang tidak kunjung selesai ini. Pertama, dilihat dari sudut pandang Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup Bangsa Indonesia, hal ini tentu sangat tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan”, kata “dipimpin” memiliki arti yaitu “diwakili” atau “ditentukan”, ketika disambungkan dengan kata “hikmat kebijaksanaan” memiliki arti “suatu badan yang menentukan kebijakan”, dan kata terakhir “permusyawaratan perwakilan” yang memiliki arti “musyawarah bersama yang dilakukan oleh perwakilan rakyat – rakyat”. Sehingga jika kata – kata tersebut disambungkan makna dan artinya, sila ke-4 mempunyai makna bahwa sistem kerakyatan dipimpin oleh suatu badan yang menentukan dan memegang kebijakan yang telah dipilih sebagai perwakilan rakyat serta melakukan musyawarah bersama dalam menentukan keputusan. Namun pada kenyataannya di Negara ini, kepercayaan tidak dapat diberikan secara penuh kepada para petinggi perwakilan rakyatnya. Meskipun sebelumnya para wakil rakyat telah dipilih oleh rakyat, nyatanya masih banyak terdapat money politics dalam pelaksanaan pemilihan umum yang membuat hanya sedikit para-wakil-rakyat yang benar – benar mewakili suara rakyat dengan duduk di antara petinggi Negara. Apabila money politics-lah yang memilih petinggi Negara, maka bukan tidak mungkin apabila dalam penentuan keputusan pemilihan Pemimpin Negara (Presiden) yang dilakukan dengan musyawarah malah terlibat hal yang sama (money politics). Bahkan perilaku petinggi yang seharusnya menjadi pegangan rakyat dalam menentukan keputusan malah semakin menjadi – jadi seperti yang telah banyak diberitakan pada media massa. Berbeda jika dibandingkan dengan jaman kemerdekaan dulu dimana pemilihan presiden Soekarno dan wakil presiden Moch.Hatta dilakukan dengan cara musyawarah oleh para petinggi rakyat dan pejuang, dikarenakan tujuan pemilihan mereka hanya satu pada waktu itu, yaitu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, tanpa ada niat terselubung lainnya, bagaimana jika sekarang? Perebutan tahta petinggi selalu dibumbui dengan angan – angan kekuasaan luas dan harta melimpah. Jadi dapat kita simpulkan, apabila dengan keadaan Negara Indonesia yang seperti ini terus menerus maka sistem demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi musyawarah pun tidak dapat dilakukan.
Jika ditinjau dari sudut pandang demokrasi pun hal ini juga tidak dapat disalahkan secara utuh dan menyeluruh. Sistem demokrasi seperti ini mempunyai beberapa kelebihan yang telah kita paparkan sebelumnya yang tidak dimiliki oleh sistem perwakilan. Dalam sisi positifnya, sistem demokrasi dapat melibatkan seluruh komponen Negara dalam penentuan keputusan, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tetapi seharusnya jika rakyat yang memilih para petinggi – petinggi tersebut, mereka lah yang seharusnya bertanggungjawab kepada rakyat. Sebagaimana presiden menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPR/MPR, hal yang serupa pun harus dialami oleh rakyat sebagai pemilihnya. Presiden maupun petinggi lainnya harus menyampaikan pertanggungjawabannya secara langsung kepada rakyat, mengingat pemilihan mereka juga secara langsung dilakukan oleh rakyat. Sehingga jika kita tarik kesimpulan, Indonesia Negara yang menjunjung tinggi keadilan demokrasi seharusnya bisa lebih meninjau sejauh mana demokrasi tersebut dapat berjalan. Namun dilihat dari keadaan Negara saat ini, walaupun sistem demokrasi telah berjalan lama, masih terdapat beberapa bagian yang harus diperbaiki dan ditinjau ulang, Indonesia harus jauh lebih mempersiapkan diri baik internal maupun eksternal untuk menjalankan sistem demokrasi dalam pemerintahannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah kita bahas diatas, terlihat dari berbagai sudut pandang bahwa segala opsi pemilihan mempunyai kekurangan dan kelebihan.
· Dari sudut pandang pemilihan tidak langsung (musyawarah parlemen), tidak dimungkinkan untuk mempercayakan segala macam keputusan kepada perwakilan rakyat dengan keadaan Negara yang krisis kepercayaan seperti ini, namun semua harus tetap berlandaskan Pancasila sebagai dasar Negara.
· Dari sudut pandang pemilihan secara langsung (demokrasi), Indonesia bukanlah Negara Demokratis penuh seperti Negara – Negara Barat yang menganut demokratisme, karena itu masih dibutuhkan musyawarah antar golongan dan pihak dalam menentukan keputusan.
Solusi
Maka menurut kami, yang seharusnya dibenahi dalam sistem pemilihan umum Indonesia adalah dengan melibatkan seluruh komponen Negara dalam penentuan keputusan, baik rakyat, badan parlemen, maupun pihak lain, namun pembenahan tersebut tidak menyimpang dari sila ke-4 Pancasila tentang permusyawaratan, sehingga dengan jalannya 2 sistem tersebut tidak ada hal yang bertentangan antara Pancasila dan Demokratisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, As’ad Said.2009.Negara Pancasila : Jalan Kemaslahatan Berbangsa.Jakarta. : Pustaka LP3ES Indonesia
Anonim.2011.Penyimpangan Demokrasi Pancasila.http://www.selamatkan-indonesiaku.net. : 26 April 2011
Anonim.2011.Demokrasi Pancasila.http://www.id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila : 26 April 2011
Notonagoro.1974.Pancasila Dasar Falsafah Negara.Jakarta : Pantjuran Tujuh
Soekarno.2001.Pancasila Sebagai Dasar Negara.Jakarta : Gunung Agung. (Diterbitkan pertama oleh Departemen Penerangan pada 1958)
Wahyudi, Agus.2006.Ideologi Pancasila.Depok. Fisip UI Press
Thanks ya sob udah share , blog ini sangat bermanfaat ...................
BalasHapusbisnistiket.co.id
Mantab tulisannya Sob
BalasHapus