Jumat, 18 November 2011

“ANALISIS KASUS PENAMBANGAN PASIR BESI DI KAWASAN PERTANIAN LAHAN PASIR KULON PROGO DITINJAU DARI ASPEK EKOLOGI, ETNOLOGI, EKONOMI, DAN TEKNOLOGI”

Rahmat Pasha Listyanto  06/196989/TP08747 dan dkk
I.         LATAR BELAKANG

Secara umum pasir besi terdiri dari mineral opak yang bercampur dengan butiran-butiran dari mineral non logam seperti, kuarsa, kalsit, feldspar, ampibol, piroksen, biotit, dan tourmalin. mineral tersebut terdiri dari magnetit, titaniferous magnetit, ilmenit, limonit, dan hematit, Titaniferous magnetit adalah bagian yang cukup penting merupakan ubahan dari magnetit dan ilmenit. Mineral bijih pasir besi terutama berasal dari batuan basaltik dan andesitic vulkanik. Kegunaannya pasir besi ini selain untuk industri logam besi juga telah banyak dimanfaatkan pada industri semen.
Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau melepaskan biji tambang dari batu-batuan atau pasir seperti dalam pertambangan emas, para penambang pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau sungai dan lingkungan. Pada pertambangan bawah (underground mining), kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan karena adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih. Baik tambang dalam maupun tambang terbuka menyebabkan terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S dari senyawa pirit (Fe2S) menghasilkan air buangan bersifat asam  (Acid Mine Drainage / Acid Rock Drainage) yang dapat hanyut terbawa aliran permukaan pada saat hujan, dan masuk ke lahan pertanian di bagian hilir pertambangan, sehingga menyebabkan kemasamam tanahnya lebih tinggi. Tanah dan air asam tambang tersebut sangat masam dengan pH berkisar antara 2,5 – 3,5 yang berpotensi mencemari lahan pertanian.
Eksistensi petani pesisir pantai selatan Jawa dengan jumlah lebih dari satu juta orang kerap kali terganggu akan hadirnya industri pertambangan, hal ini mendorong lahirnya konflik-konflik agraria dengan melibatkan relasi kekuasaan antara modal dengan negara terhadap petani. Kandungan mineral di pesisir pantai selatan Jawa yang diburu oleh korporasi pertambangan merupakan penjaga ekosistem dan salah satu faktor penentu keberlangsungan pertanian pesisir karena kandungan mineral tersebut mengikat unsur-unsur senyawa dari besi yang kemudian menghasilkan air tawar sebagai sumber irigasi dan mencegah terjadinya abrasi.

II.           TUJUAN ANALISIS
Tujuan dari analisis pembahasan ini adalah untuk mengetahui aspek positif maupun negatif dari rencana penambangan pasir besi yang akan dilakukan di kawasan pertanian lahan pasir Kulon Progo serta sebagai pertimbangan kecenderungan yang hendaknya dipilih untuk kemaslahatan masyarakat yang berkelanjutan.


III.             ANALISIS PERMASALAHAN
Pasir adalah riwayat hidup warga pesisir pantai selatan Kulon Progo. Ribuan jiwa di kawasan pantai selatan kabupaten Kulon Progo, Propinsi Yogyakarta makan dari pertanian pesisir. Sampai hari ini mereka hidup dari pertanian pesisir yang bukan berlahan tanah tetapi pasir. Menurut catatan dari sejarah lisan Bapak Arjo Dimejo, warga desa Karang Sewu, sebelum tahun 1942 sebagian warga Karang Sewu bertahan hidup dengan berusaha menanam Padi, Ubi Jalar, Kentang dan Kacang Tanah di tanah pasir pesisir. Petani pesisir sejak dulu selalu mengalami kesulitan, tetapi selalu saja mampu menyelesaikan masalahnya secara mandiri dan otonom, tanpa bantuan pihal luar apalagi pemerintah. Bahkan jalan menuju lahan pun yang dulunya sulit ditempuh, petani meratakan sendiri. Sejak dari hanya membuat membuat jalan sederhana yang ditanami batu-batu sampai akhirnya mereka aspal dengan tangan sendiri adalah ahsil gotong royong dengan dana swadaya warga, tanpa bantuan pemerintah. Begitulah pengakuan semua petani pesisir ketika ditanyakan peran pemerintah. Petani pun tidak pernah mengalami konflik tanah garapan. Petani tahu mana yang menjadi hak garapnya satu sama lain dan tidak pernah mengalami konflik statu tanah, karena petani yang mengatur sendiri. Kepercayaan mereka antar setiap orang dan komunitas kelompok tani melampaui kepercayaan relasi para pebisnis yang yakin setelah disucikan di atas kontrak hukum bermaterai.
Saat ini lahan kritis itu sudah sangat subur dengan jerih 40 puluh tahun lebih. Tumbuhan apapun mungkin hidup di atas pasir pantai melalui tangan dan perawatan bersama hidup mereka. Di atas pasir itu ragam tumbuhan holtikultura mampu ditanam sepanjang musim hujan maupun kemarau. Mulai dari cabe, terong, pari, jarak, kacang panjang, padi, jagung, semangka dan banyak lagi sayuran ada di lahan pesisir pantai bertanah pasir sepanjang 25 KM, melalui tangan petani telah menghijaukan bumi. Mereka menanam dengan pengetahuan kolektif, baik melalui pengalaman mengenai teknologi modern dan juga keraifan lokal saat menentukan musim tanam, merawat hidup tumbuhan sampai memanen lahan.
Namun ketenangan para petani mulai terusik ketika pada tahun 1964 dilakukan penelitian penyelidikan kandungan pasir dari jurusan Geologi Universitas ITB di pesisir Kulon Progo. Penelitian yang dipimpin oleh Ir. Junus ini menyelidiki kandungan pasir besi dan air tanah di dalamnya. Saat itu mereka mengebor tanah sampai kedalaman 4-7 meter. Ketika itu beberapa warga yang diminta membantu bekerja sebagai tenaga kasar dari daerah setempat menyimpan ingatan bahwa tanah pasir tersebut di dalamnya ada air dan besi. Ingatan itu adalah awal yang dipakai masyarakat sekitar untuk memulai mengambil alih hidup mereka setelah 20 tahun kemudian. Imam Rejo Dkk mengajak warga bersama mencoba membuat sumur sebagai sumber hidup. Mereka menemukan air di dalam tanah, air tawar yang jelas tidak asin, bahkan sekalipun berada sekian meter dari bibir pantai selatan. Melalui sumur buatan, ditangan warga dusun lahan kritis dan mati itu menjadi hidup.
Ingatan itu tapi menjadi berbeda ketika telah dicatatkan di dalam naskah akademis, kemudian dibaca oleh tuan tanah dan diketahui oleh penguasa. Saat tanah itu mulai subur, memberi makan bahkan mencetak anak petani bersekolah di perguruan tinggi, saat itu juga pencerahan meloncat tiba-tiba di benak pengusaha dan pengklaim otoritas tanah di Kulon progo. Rencana pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo muncul dari desakan perusahaan keluarga Kasultanan/Paku Alaman (Akta Notaris PT Jogja Magasa Mining) kepada pemerintah daerah. Surat Australia Kimberly Diamond (AKD) kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, Subject : Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005, menjadi bukti terjalinnya kesepakatan bisnis antara AKD (berubah nama menjadi Indomines Ltd pada 2006), Krakatau Steel, dan PT. Jogja Magasa Mining/ PT. JMM (perusahaan pertambangan milik keluarga Sultan HB X dan Paku Alam IX) untuk menambang pasir besi di pesisir Kulon Progo seluas 22 x 1,8 km, yang meliputi kecamatan Galur, Panjatan dan Wates, diatas lahan yang akan direncanakan untuk menjadi kawasan pertambangan tersebut hidup tidak kurang dari 30.000 petani.
Rencana ini menjadi ancaman yang amat serius terhadap ekonomi dan psikologis petani di pesisir Kulon Progo, dimana sejak isu rencana pertambangan itu mencuat ketenangan batin petani seakan memasuki babak baru yang menegangkan, petani merupakan bagian dari sistem ekonomi, politik dan budaya yang lebih luas, dan kerap menjadi korban dari relasi kuasa yang akhirnya mendorong konflik-konflik kelas berkepanjangan, seperti dijelaskan oleh Eric Wolf (1985), petani selalu menyerahkan surplus-surplus mereka kepada satu golongan penguasa yang dominan, yang menggunakan surplus-surplus itu untuk menunjang tingkat hidup mereka sendiri dan membagikan sisanya kepada golongan-golongan di dalam masyarakat yang tidak bertani melainkan harus diberi makan sebagai imbalan barang-barang.
Hal tersebut tentunya menuai kontroversial yang berkepanjangan hingga saat ini. Banyak pihak yang mendukung proses penambangan karena keuntungan berlipat ganda yang akan dihasilkan, namun banyak pula pihak yang menolaknya dikarenakan dampak-dampak yang akan terjadi ke depannya. Berikut merupakan analisis mengenai dampak-dampak yang akan dihasilkan jika proses penambangan pasir besi dilakukan di kawasan pertanian lahan pasir Kulon Progo. Beberapa dampak ini ditinjau dari aspek ekologi, etnologi, ekonomi, dan teknologi.
1.    Aspek Ekologi
Ditinjau dari aspek ekologi, dengan adanya penambangan lahan pasir akan menyebabkan terjadinya beberapa dampak negatif diantaranya:
a.    Kerusakan ekosistem gumuk pasir.
Pesisir di Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari gugusan gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parang Tritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan 1 dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi lingkungan sebagai benteng terhadap ancaman bencana Tsunami. Rencana pertambangan pasir besi akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, melalui 1) perembesan air laut ke darat, 2) erosi benteng tsunami, 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka (Kompas, 11 April 2008).
b.    Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya.
c.    Pencemaran baik tanah, air maupun udara. Misalnya debu, gas beracun, bunyi dll.
d.   Kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir.
e.    Banjir, longsor, serta lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati.
f.     Air tambang asam yang beracun yang jika dialirkan ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut.
g.    Menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan.
2. Aspek Etnologi
a.  Menghilangkan fungsi tanah pesisir sebagai kawasan yang telah menciptakan arus balik urbanisasi sejak 1990-an, serta sebagai tempat pengembangan pengetahuan lokal, yaitu pertanian lahan pantai, yang telah menyebar ke daerah sekitar (Samas, Trisik, Glagah, dll).
b. Adanya penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman. Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Hhiddieq Dkk, 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, dan penegembangan pengetahuan masyarakat setempat). Rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalih fungsikan lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1, 8 km, dimana terdapat lahan dan pemukiman (menurut sosialisasi Muliyono, Wakil Bupati Kulon Progo 2006-2011).


c. Dapat menyebabkan konflik horizontal. Penggunaan jasa-jasa preman yang terjadi selama kurun waktu rencana proyek pertambangan pasir besi ini digulirkan akan mengundang konflik-konflik baru di dalam masyarakat pesisir, hal ini terlihat saat ratusan preman bayaran membakar posko-posko petani yang terjadi beberapa tahun silam dan memicu upaya kriminalisasi secara sewenang-wenang terhadap petani pesisir Kulon progo.
c) Pilot Project yang diajukan oleh pihak penambang merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan, terutama Perda No 1 Tahun 2003, UU No 27 tahun 2007, dan UU No 32 Tahun 2009. Dokumen UKL dan UPL yang menjadi landasan pendirian Pilot Project Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo menyebutkan bahwa : 1) Lahan yang digunakan adalah milik Pakualaman (hal. 10), menurut peraturan perundang-undangan tentang agraria yang sah, Pakualaman tidak dapat memiliki tanah karena bukan perorangan maupun badan hukum, dan status tanah swapraja (SG dan PAG) telah dihapuskan sejak 1984. 2) Pilot Project terletak pada kordinat 7"58 00.02"S/ 110'11 14,65"E (batas utara-barat), 7'5803" S/110'11''20,17" E (batas utara-timur), 7'58'07.06" S/110'11'54" E (batas selatan-barat), dan 7'58'11.01" S/110'11'16.38"E (batas selatan-timur), tidak disebutkan berapa jarak lokasi pilot project dari bibir pantai (halaman 8 dan lampiran peta lokasi). Menurut Perda Kabupaten Kulon progo No 1 tahun 2003, fungsi kawasan sempadan pantai ditetapkan sebagai kawasan lindung dan minimal berjarak 150 m dari batas pasang tertinggi kea rah daratan. Menurut UU No 27 Tahun 2007, jarak minimum untuk kawasan sempadan pantai adalah 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. 3) Berdasarkan Tata Ruang Kab. Kulon Progo kawasan pesisir diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan (halaman 22). Menurut Perda Kabupaten Kulon Progo No 1 Tahun 2003, kawasan pertambangan tidak meliputi Kecamatan Galur, Panjatan dan wates yang merupakan kawasan konsesi pertambangan pasir besi. 4) Izin eksplorasi pasir besi didasarkan pada keputusan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Koperasi dan Pertambangan Kabupaten Kulon Progo No 15/Kpts/Ekpls/X/2007 (halaman 7). Izin ini kemudian diperkuat dengan SK Bupati Kulon Progo No 47 Tahun 2010 yang diperbaharui menjadi SK Bupati Kulon Progo No 140 Tahun 2010. UU No 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa izin suatu usaha dapat dibatalkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota apabila persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan atau pemalsuan data, dokumen atau informasi. Dengan demikian, izin pendirian Pilot Project merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan, terutama Perda No 1 Tahun 2003, UU No 27 tahun 2007, dan UU No 32 Tahun 2009.
3. Aspek Ekonomi
Dari segi ekonomi berdasarkan sumber dari Menteri Perindustrian MS Hidayat  dalam kunjungan kerjanya ke Yogyakarta pada 21 Maret 2011 mengatakan potensi pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo cukup besar, karena diperkirakan memiliki deposit sekitar 300 juta ton dan sudah ada investor yang bersedia mendirikan industri pengolahan besi baja dengan kapasitas 500.000 ton per tahun, serta akan ditingkatkan menjadi dua juta ton per tahun.
Walaupun demikian, hal tersebut nampaknya tidak sebanding dengan beberapa dampak yang akan berimbas pada perekonomian warga yang notebene merupakan petani pesisir pantai. Selain itu keuntungan ekonomi yang diperoleh hanya bersifat sementara dan tidak memperhatikan dampak jangka panjang yang akan ditimbulkan. Berikut ini beberapa dampak negatif yang akan terjadi jika penambangan pasir besi tersebut dilakukan ditinjau dari spek ekonomi:


a. Hilangnya mata pencaharian petani
Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak, penyedia pupuk dan benih). Rencana pertambangan pasir besi akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya. Hal ini dengan perbandingan tawaran lapangan pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan pertambangan yang hanya mampu menyerap tenaga kerja tidak lebih dari 6000 orang sementara saat ini ada 30.000 orang yang hidup di atas lahan pesisir tersebut sebagai petani (Kompas, April 2008).
b. Terganggunya penyediaan kebutuhan bahan pokok.
Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara 17.548 ton/bulan (tahun 2008), sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq dkk, 2008). Rencana pertambangan pasir besi akan mengganggu stabilitas perekonomian di sektor kebutuhan pokok harian, yaitu cabai.
4. Aspek Teknologi
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine drainage (AMD). Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
IV.   KESIMPULAN
Dari hasil analisis 4 aspek di atas (ekologi, etnologi, ekonomi, dan teknologi),  maka dapat disimpulkan bahwa penambangan lahan pasir yang akan dilakukan di wilayah lahan pertanian pasir Kulon Progo kurang tepat untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan banyaknya efek negatif jangka panjang yang tidak sebanding dengan keuntungan finansial sesaat yang akan diperoleh. 


REFERENSI

Afandi, Muhammad. 2011. Kaum Tani Pesisir Pantai Selatan Jawa Dibawah Bayang-Bayang Kapitalisme Pertambangan. http://www.persma.com . Diakses pada tanggal 5 Oktober 2011.

Anonim. 2011. Menambang Pasir Besi di Lahan Petani Kulon Progo. http://www.antaranews.com. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2011

2 komentar:

  1. SAYA TIDAK SETUJU..
    ANDA HARUS AMBIL JUGA REFERENSI DARI BUKU-BUKU MINING...
    TAPI SAYA YAKIN ANDA TIDAK PAHAM...
    PENAMBANGAN DENGAN METODE BACKFILL DAN SEBAGAI ORANG MINING KAMI JUGA PUNYA TEKNIKNYA AGAR LOKASI TERSEBUT TIDAK TERCEMAR DAN TETAP RAMAH LINGKUNGAN..
    PENAMBANGAN DENGAN SISTEM SEWA SEHINGGA SETELAH TERAMBIL 56%FE RAW MATERIAL DIKEMBALIKAN LAGI DAN REVEGETASI DAPAT DILAKUKAN KEMBALI DENGAN HASIL YANG LEBIH BAIK...

    BalasHapus